Aku, Dia dan Mereka

Sebuah Pencarian dan Pembelajaran Diri

Rabu, 05 Oktober 2011

Maaf ...sayang, Ketika Ibu Harus Berbohong

KETIKA IBU HARUS BERBOHONG

Setiap orang pasti mengalami yang namanya berbohong. sebuah perbuatan yang membuat kita merasa bersalah atau nyaman dengan perbuatan itu. tergantung niat dan cara bagaimana itu dilakukan. Bukankah Pahala dan dosa terlihat dari niatnya?. 
Sebagai seorang pendidik yang menghadapi manusia-manusia titipan Tuhan yang menginginkan kejujuran bagi anak didiknya itu sangat penting. Bangsa ini telah rapuh dengan berbagai ketidak jujuran dari oknum yang Allah berikan amanah berupa jabatan. Tindakan korupsi bukan hal yang aneh di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini. Sungguh miris, dimana-mana korupsi dan lebih parahnya dilakukan berjamaah dan kasat mata tanpa malu. Suara rakyat sudah tidak didengar. Hukuman untuk para koruptor yang sangat ringan ditambah REMISI membuat hukum di Negeri tidak membuat efek jera bagi para pelakunya...duh...mau jadi apa negeri ini. Tetapi setelah dipikir-pikir sifat itu berawal ketika kita nyaman dengan ketidak jujuran. Sudah tidak ada rasa takut lagi akan peringatan Tuhan. Melembaga dan membudaya. Budaya itu muncul berawal dari sesuatu yang kecil, contohnya rumah. Misalnya di rumah, ketika ada orang yang menagih hutang seorang ibu, sang madrasah itu pertamakali mengajarkan pada anaknya kebohongan dengan mengatakan bahwa ibunya tidak ada di rumah padahal ada di kamar. Di sekolah juga bagaimana anak-anakku menyontek ketika ulangan dan itu dilakukan mulai SD sampai Perguruan Tinggi. Sulit...sulit, mudah...mudah. Sulit jika tidak diawali dari diri sendiri, keluarga dan perubahan sistim di Negara ini.
Sebagai seorang pendidik aku mengalami hal itu. Dari berbagai kebohongan ada beberapa yang diingat dan ada satu yang sangat kuingat. Kenapa demikian? karena kebohongan itu rutin kulakukan dan kelihatannya kebohongan itu menjadi biasa. Duh...tapi kebohongan ini kulakukan untuk kebaikan (cukup Tuhan dan aku yg tahu). Ketika kita berhubungan dengan aib seseorang maka kita menutup dan menyelamatkan dari nama baiknya. 
 Sebuah contoh ketika menghadapi pertanyaan muridku.
"Bu...?kenapa gak ikut bu? atau  " Bu ikut ya bu ke Jakarta?"
Pertanyaaan itu selalu murid-muridku selalu tanyakan setiap tahunnya. Saat itu juga aku harus mencari jawaban yang jitu agar muridku tak bertanya lagi. Mulai jawaban sibuk, ibu ada tugas sekolah sampai alasan sakit sehingga ibu tidak ikut. Jawaban itu kuberikan agar mereka tidak bertanya-tanya lagi kenapa dan kenapa atau berburuk sangka pada siapapun....Beresssssssssss itu yang ada di hati ini. Bagaikan makan buah simalakama. Selama 14 tahun harus berbohong dan mencari alasan yang seharusnya tidak ada. Tak kuat kadang hati ini tapi biarlah ini menjadi rahasia yang kelak Allah buka kebenaran. Barang siapa menutup aib saudaranya kelak Allah menutup aibnya di pengadilan Tuhan. 
Dan janganlah Kekuasaan dan Jabatan membuat kita dholim dengan tidak berbuat adil walau kita kita membenci terhadap kaum sekalipun. Allah tahu setiap desiran hati hambanya. Pertanyaan pada diriku haruskah aku berbohong lagi?. Jika kelak aku diajak dan ikut bersama mereka dan saat itu aku tidak bisa ikut, setidakanya aku bisa jujur bahwa ibu tidak bisa ikut karena ibu ada kepentingan nak.