Aku, Dia dan Mereka

Sebuah Pencarian dan Pembelajaran Diri

Jumat, 17 Juli 2009

" EMAK " ( Penjual buah di sekolahku )

puisi:
" EMAK "
Kucuran keringat…Di tengah nyala membakar
Hawa panas menerpa dengan kerongkongan kering
Perut meronta tak ada isi menyapa
Tampakkan wajah dengan kerutan-kerutan senja
lewat uban, tangan kasar, menghitamJalan tertatih, kaki memerahmemanggul beban di kepala dengan berat tak imbang dengan tubuh ringkihnya
Itu ... karena.... perut kosong manusia kecil di sana yang menunggu, tertinggal di gubuk reot
Menanti dengan senyuman dan harapan
Emak...apa yang kau bawa hari ini?
Hingga aku melihat dunia besok pagi

(Para Penghuni yang di rindu Surga)”
Jeng...sawo, bawang merah, tomat !??” sapanya jika guru-guru melewati dia di depan laboratorium IPA. Di selonjorkanya kaki tuanya di teras lantai mengkilap warna putih. Buah sawo selalu di tawarkannya karena buah itu yang selalu ada dan di pesan oleh beberapa guru. Emak langganan para pahlawan tanda jasa di sekolah kecil itu, yang tak sempat berbelanja karena mengajar sampai jam tiga sore. Aku biasa memanggilnya emak, namanya sebenarnya Munarmi. Wajahnya sudah tua kira-kira berumur diatas 65 tahunan, rambut yang selalu di gelung dengan sambungan perca kain, jika berbicara dengannya ada aksen madura yang khas dengan bahasa jawa ngoko. Kalo berjalan sering menyeret kakinya di pintu gerbang , terkadang pincang hingga terlihat dagangannya hampir oleng, meringis dengan tumit merah dan lutut bengkak karena asam urat. Dua hari dia datang ke sekolahku, membawa buah dan sayuran untuk dia jajakan bagi guru-guru yang tak sempat belanja, jadi keberadaan emak sangat membantu kami.Jika aku tidak ada jam atau masih ada beberapa jam sebelum masuk, aku sempatkan untuk sekedar ngobrol dan menyapanya. Ada keasyikan jika berbincang dengannya, biasanya pertama ngawali aku tanyakan apakah emak sudah makan apa belum. Terkadang emak mengiyakan pertanyaanku bahwa saat itu perutnya sudah kenyang karena sempat makan kue murah di jalan dan saat kutawarkan dia hanya menginginkan minum saat itu, tetapi terkadang dia belum sempat makan itupun sampai matahari meninggi, dan itu tak menyurutkan langkahnya untuk tetap berjualan hingga berjalan berkilo-kilo hingga aku menawarkan kue untuk mengajaknya makan berdua, agar tak sungkan dan alasan, ku katakan aku ingin makan sama emak biar nikmat, jadi membuat dia tidak menolak pemberianku.Darinya aku tahu arti keindahan berkorban dan bersyukur atas apa yang Tuhan beri dalam hidup walau tak seberuntung orang-orang di sekelilingnya yang dengan mudah mendapatkan dan membeli apa yang di inginkan. Di usia senja yang sepatutnya beliau bisa menikmati masa tuanya, santai di rumah di kelilingi oleh anak, mantu dan cucunya baginya hanyalah dongeng pengantar tidur yang di dengar dan di lihat di pagar-pagar tinggi orang berada atau tayangan sinetron indonesia ala cinderella yang di tayangkan di TV swasta yang biasa emak nikmati di rumah tetangga. Yah ...emak selama menjalani hidupnya tanpa mengeluh berjualan untuk menghidupi keluarga. Aku selalu bertanya tentang keberadaan anak-anak emak tanpa menyinggung kenapa di usia senja membiarkan dia bekerja dengan kondisi asam uratnya. Tapi emak selalu beralasan bahwa anaknya juga berjualan sama dengan dirinya, kemana-mana bersama dirinya menawarkan dagangan, tapi kadang tidak laku, jika melewati jalan ke sekolah anaknya menawarkan jasa mencuci hingga siang hari agar pada hari itu mendapat beberapa uang dan meninggalkan emak sendiri membawa barang dagangan. Keadaan itu membuat emak bosan menungu, sambil menunggu selesai anaknya mencuci biasanya emak mampir ke sekolahku. Aku kadang berpikiran buruk bagaimana anak-anaknya membiarkan emak berjualan dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter di tengah panas membawa di kota pesisir ini. Tetapi baru kutahu dan kusadari bahwa keadan yang memang membuat emak menjadi perkasa di mataku. Dari mulut keringnya baru kutahu bahwa anak satu-satunya yang saat ini berjualan nasibnya tidaklah berbeda dengan emak, putri semata wayang yang di karuniai dua pundi-pundi itu telah di tinggalkan suaminya. Laki-laki yang dulu pernah bersumpah di atas nama Tuhan d depan Moden itu entah pergi kemana, meninggalkan sang putri setelah memberinya dua orang cucu mungil yang lucu. Tak ada kabar berita dan tanggung jawab atas nafkah untuk putri dan sang buah hati. Hingga waktu membuat ke dua srikandi itu harus berjuang untuk memperbaiki keadaan agar keluarga itu tetap hidup dan sekedar makan. Yah... sekedar makan. Sungguh miris di saat di pendopo kabupaten, di gedung megah menantang, pusat pertokoan, restauran, rumah mewah yang di laluinya, emak berjalan berjualan untuk mengisi perut-perut mungil yang menantinya dengan senyum gigi gigisnya. Mereka pundi-pundi dengan wajah polos tanpa pernah menuntut sekolah Taman kanak-kanak yang menjamur di usia enam tahun dan adiknya yang berumur empat tahun. Emak tetaplah emak dengan senyum tulusnya ketika menawarkan dagangannya,selalu ada cerita dan keceriaan, memijat punggungku ketika aku duduk di sebelahnya, yang selalu mendo’akanku jika bertemu, selalu terucap ”semoga nak... kau sehat selalu”, amin jawabku. Kekuatan dan cinta yang datang dari bahasa Quanta tanpa terlogika, cinta dari Tuhan merupakan karunia untuk selalu tersemai bagi saudara-saudara kita. Terimakasih para penghuni yang selalu di rindu Surga, karena di sana banyak berisi orang-orang dhuafa dan fakir yang tak beruntung di dunia tapi mensyukuri pemberianNYA dan optimis dalam hidupnya seperti kau emak.

1 Komentar:

Blogger Dandy Naufaldi mengatakan...

bu, ini saya anak klz 7.5
ceritanya indah banget, penuh dengan arti perjuangan hidup.
Oh, ya bu, kapan novelnya terbit?
semoga cepat terbit karena saya mw beli...... :)

22 Juli 2010 pukul 00.29  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda